Hampir tiga bilangan tahun saya lalui bersama pasangan dalam bahtera rumah
tangga. Tentu sudah banyak sekali cerita dan rasa yang terukir, sebelum dan
sampai ada seorang bidadari kecil di antara kami.
Hidup kami semakin berwarna. Bermacam rasa dan asa. Dan kini, tengah ada
calon pangeran di rahim saya. Bagaimana kami bisa berhenti bersyukur atas
segala anugerah yang terlimpahkan dalam hidup kami?
Tiga tahun yang lalu, saya memutuskan untuk melepas kesendirian. Bukan
tanpa alasan. Banyak alasan. Usia, merasa mampu, mau dan saya rasa ada calon
yang "pas". Saya sulit menjelaskan kenapa saya mau menerima lelaki
yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Lelaki yang belum benar2 saya kenal
saat ijab qobul dilantunkan. Hanya saja, hati ini merasa "pas" dan
tidak ada alasan untuk tidak menerima. Itu saja. Saya melihat ada iman dan
ketaqwaan dalam diri lelaki itu. Mungkin sudah membuat saya merasa cukup.
20 Desember 2013 menjadi awal untuk banyak kisah. Saya harus mengabdikan
diri saya pada lelaki itu yang seiring berjalannya waktu membuat saya semakin
menyadari bahwa memang dialah yang tepat untuk menjadi imam saya. Dia yang
mengerti saya. Dia yang menjadi penyeimbang untuk banyak kekurangan saya dan
mungkin sebaliknya. Di saat saya "malas", dia menjadi yang
"rajin". Di saat saya "lelah", dia menjadi yang
"bersemangat". Begitulah saling melengkapi, insyaAllah. Meski
terkadang banyak pula kesamaan di antara kami.
Belum genap satu tahun pernikahan, kami dikaruniai seorang bidadari kecil.
Kami semakin bahagia. Assyifa Khansa Athifa, 29 Oktober 2016. Seorang anak yang
lincah, selalu bersemangat, pantang menyerah untuk mencoba hal-hal baru dan
pemberani (percaya diri). Di usia dua tahun ini, dia benar-benar seorang peniru
ulung. Saya rasa masa golden age nya luar biasa. Cepat sekali dia menghafal
kata atau perilaku yang pada akhirnya akan dia tirukan. Memori ingatannya sudah
cukup panjang sehingga hanya butuh satu kali contoh. Dan dia sangat tertarik
pada hal yang berbau elektronik. Cukup sekali dia melihat, bagaimana menyalakan
kipas angin, AC, laptop, tv, ponsel, ipad, diapenser, dan yang lainnya. Setelah
itu, dia sudah tau dan akan mencoba menirukan. Sebagian besar, dia berhasil
tanpa bantuan. Peniru ulung.
Saya seorang ibu dan bekerja di luar rumah. Mungkin, waktu dan perhatian
saya pada keluarga banyak tersita ketika saya tenggelam dalam pekerjaan kantor.
Hanya saja, saya berusaha untuk tidak berkurang peran sebagai ibu dan istri
saya di mata anak dan suami. Alhamdulillah, sejauh ini berhasil dengan adanya
kerja sama yang baik dengan suami. Saya cenderung perfeksionis dalam hal
mengasuh anak dan beberes rumah. Namun, akhirnya berkurang juga perfeksionisme
itu karena saya membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukannya selama saya
bekerja.
Saya seorang yang detail, setiap planning harus jelas. Mungkin karena itu,
saya dipertemukan dengan pasangan yang dapat berpikir strategis sehingga beban
stress saya menjadi berkurang. Dia memang pantas menjadi ayah untuk anak-anak
saya. Seorang imam yang baik yang menyemangati saat iman saya turun. Dan kami,
memiliki keinginan yang sama untuk melahirkan anak-anak berkualitas di dunia
dan akhirat. Setidaknya, menjadi hafiz, hafizah, insyaallah. Dalam mendidik
anak, kami sepakat untuk memakai cara baru, tidak dengan cara yang sama persis
seperti dulu orang tua mendidik kami. Tidak ada lagi mendoktrin dan menuntut
anak untuk menjadi pandai saat sekolah dan harus bekerja di luar rumah
setelahnya.
Kami tengah hidup di perantauan. Lingkungan kami sebagian besar muslim dan
orang jawa. Cenderung religius. Intensitas berbaur dengan tetangga tidak
banyak. Namun, kami saling mengenal. Setidaknya, jika ada tetangga punya hajat
atau sakit, kami saling mengetahui dan bisa bersilaturahmi. Kerasnya hidup di
tengah kota yang cenderung individual tidak begitu terlihat di lingkungan kami.
Walaupun, kami pun tidak saling mengenal seluruh warga se RT tapi setidaknya
kami mengenal tetangga di kanan kiri dan depan rumah. Cara mendidik anak setiap
keluarga pasti berbeda. Namun, kami tidak pernah memaksakan yang lain untuk
sama dengan kami. Saya bersyukur tinggal di sini. Zona aman dan nyaman sejauh
ini. Saya ingin bisa berkontribusi pada masyarakat. Jika dulu saya pernah
mengabdikan diri di lingkungan pedesaan, kini saya ingin mengabdikan diri di
lingkungan perkotaan. Waktu saya memang lebih banyak di kantor daripada di
rumah. Hal itu sedikit menjadi kendala untuk saya. Namun, saat ini
alhamdulillah sudah bisa memberi sedikit kontribusi untuk TPA (Taman Pendidikan
Al Qur'an) di lingkungan rumah. Semoga TPA menjadi lebih berkembang dan saya
sekeluarga dapat memberikan lebih banyak kontribusi. Saya masih memiliki
keinginan untuk berkontribusi di bidang kesehatan dan pengembangan keterampilan
serta produktivitas ekonomi ibu untuk lingkungan saya sebagaimana latar
belakang pendidikan dan pengalaman saya. Suatu saat nanti, insyaAllah.
@my sweet home, 6
November 2016