Sabtu, 05 November 2016

NHW#3 MEMBANGUN PERADABAN DARI DALAM RUMAH

Hampir tiga bilangan tahun saya lalui bersama pasangan dalam bahtera rumah tangga. Tentu sudah banyak sekali cerita dan rasa yang terukir, sebelum dan sampai ada seorang bidadari kecil di antara kami.
Hidup kami semakin berwarna. Bermacam rasa dan asa. Dan kini, tengah ada calon pangeran di rahim saya. Bagaimana kami bisa berhenti bersyukur atas segala anugerah yang terlimpahkan dalam hidup kami?

Tiga tahun yang lalu, saya memutuskan untuk melepas kesendirian. Bukan tanpa alasan. Banyak alasan. Usia, merasa mampu, mau dan saya rasa ada calon yang "pas". Saya sulit menjelaskan kenapa saya mau menerima lelaki yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Lelaki yang belum benar2 saya kenal saat ijab qobul dilantunkan. Hanya saja, hati ini merasa "pas" dan tidak ada alasan untuk tidak menerima. Itu saja. Saya melihat ada iman dan ketaqwaan dalam diri lelaki itu. Mungkin sudah membuat saya merasa cukup.

20 Desember 2013 menjadi awal untuk banyak kisah. Saya harus mengabdikan diri saya pada lelaki itu yang seiring berjalannya waktu membuat saya semakin menyadari bahwa memang dialah yang tepat untuk menjadi imam saya. Dia yang mengerti saya. Dia yang menjadi penyeimbang untuk banyak kekurangan saya dan mungkin sebaliknya. Di saat saya "malas", dia menjadi yang "rajin". Di saat saya "lelah", dia menjadi yang "bersemangat". Begitulah saling melengkapi, insyaAllah. Meski terkadang banyak pula kesamaan di antara kami.

Belum genap satu tahun pernikahan, kami dikaruniai seorang bidadari kecil. Kami semakin bahagia. Assyifa Khansa Athifa, 29 Oktober 2016. Seorang anak yang lincah, selalu bersemangat, pantang menyerah untuk mencoba hal-hal baru dan pemberani (percaya diri). Di usia dua tahun ini, dia benar-benar seorang peniru ulung. Saya rasa masa golden age nya luar biasa. Cepat sekali dia menghafal kata atau perilaku yang pada akhirnya akan dia tirukan. Memori ingatannya sudah cukup panjang sehingga hanya butuh satu kali contoh. Dan dia sangat tertarik pada hal yang berbau elektronik. Cukup sekali dia melihat, bagaimana menyalakan kipas angin, AC, laptop, tv, ponsel, ipad, diapenser, dan yang lainnya. Setelah itu, dia sudah tau dan akan mencoba menirukan. Sebagian besar, dia berhasil tanpa bantuan. Peniru ulung.

Saya seorang ibu dan bekerja di luar rumah. Mungkin, waktu dan perhatian saya pada keluarga banyak tersita ketika saya tenggelam dalam pekerjaan kantor. Hanya saja, saya berusaha untuk tidak berkurang peran sebagai ibu dan istri saya di mata anak dan suami. Alhamdulillah, sejauh ini berhasil dengan adanya kerja sama yang baik dengan suami. Saya cenderung perfeksionis dalam hal mengasuh anak dan beberes rumah. Namun, akhirnya berkurang juga perfeksionisme itu karena saya membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukannya selama saya bekerja. 

Saya seorang yang detail, setiap planning harus jelas. Mungkin karena itu, saya dipertemukan dengan pasangan yang dapat berpikir strategis sehingga beban stress saya menjadi berkurang. Dia memang pantas menjadi ayah untuk anak-anak saya. Seorang imam yang baik yang menyemangati saat iman saya turun. Dan kami, memiliki keinginan yang sama untuk melahirkan anak-anak berkualitas di dunia dan akhirat. Setidaknya, menjadi hafiz, hafizah, insyaallah. Dalam mendidik anak, kami sepakat untuk memakai cara baru, tidak dengan cara yang sama persis seperti dulu orang tua mendidik kami. Tidak ada lagi mendoktrin dan menuntut anak untuk menjadi pandai saat sekolah dan harus bekerja di luar rumah setelahnya.

Kami tengah hidup di perantauan. Lingkungan kami sebagian besar muslim dan orang jawa. Cenderung religius. Intensitas berbaur dengan tetangga tidak banyak. Namun, kami saling mengenal. Setidaknya, jika ada tetangga punya hajat atau sakit, kami saling mengetahui dan bisa bersilaturahmi. Kerasnya hidup di tengah kota yang cenderung individual tidak begitu terlihat di lingkungan kami. Walaupun, kami pun tidak saling mengenal seluruh warga se RT tapi setidaknya kami mengenal tetangga di kanan kiri dan depan rumah. Cara mendidik anak setiap keluarga pasti berbeda. Namun, kami tidak pernah memaksakan yang lain untuk sama dengan kami. Saya bersyukur tinggal di sini. Zona aman dan nyaman sejauh ini. Saya ingin bisa berkontribusi pada masyarakat. Jika dulu saya pernah mengabdikan diri di lingkungan pedesaan, kini saya ingin mengabdikan diri di lingkungan perkotaan. Waktu saya memang lebih banyak di kantor daripada di rumah. Hal itu sedikit menjadi kendala untuk saya. Namun, saat ini alhamdulillah sudah bisa memberi sedikit kontribusi untuk TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) di lingkungan rumah. Semoga TPA menjadi lebih berkembang dan saya sekeluarga dapat memberikan lebih banyak kontribusi. Saya masih memiliki keinginan untuk berkontribusi di bidang kesehatan dan pengembangan keterampilan serta produktivitas ekonomi ibu untuk lingkungan saya sebagaimana latar belakang pendidikan dan pengalaman saya. Suatu saat nanti, insyaAllah.
  

@my sweet home, 6 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar