Rabu, 07 November 2012

Idola dan Guru



Pagi itu, seorang anak kecil, sebut saja namanya Nina.

“Bu, aku ingin beli sepatu kayak punya Mbak Via..”

Berkali-kali Nina mengucapkan kalimat itu.

Beberapa waktu yang lalu, Nina juga bilang ke ibunya, “Bu, aku ingin beli kue kayak punya Mbak Via..”

“Bu, aku ingin…. kayak ….”

Kita tidak jarang mendengar kalimat tersebut. Anak-anak kecil di sekeliling kita mungkin sering mengucapkan kalimat itu dengan nada polos. “kayak punya Mbak Via” (seperti milik Mbak Via-red) mengandung makna tersirat, yaitu secara tidak langsung anak tersebut menjadikan orang yang ditunjuk (dalam hal ini Mbak Via) sebagai ikon yang disukai. Atau dengan kata lain, Nina mengidolakan Mbak Via.

Idola menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang, gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan. Mengidolakan berarti menjadikan sesuatu sebagai idola. Saya tidak akan membahas arti kata ‘idola’ dan ‘mengidolakan’ secara panjang lebar. Saya hanya ingin memberikan sedikit gambaran ketika seseorang mempunyai idola atau mengidolakan seseorang. Seperti Nina yang mengucapkan, “Bu, aku ingin beli sepatu kayak punya Mbak Via..” Dia berusaha untuk menjadi atau memiliki sesuatu yang dimiliki oleh Mbak Via. Dia menjadikan Mbak Via sebagai acuan atau panutan. Dia menjadikan Mbak Via sebagai model yang dia contoh dalam beberapa hal di kehidupan sehari-harinya.

Guru Sebagai Idola
“Aku nggak suka diajar Bu Nurul. Bu Nurul telpon-telpon terus di kelas..”

Begitu kata Iqbal suatu hari. Iqbal, seorang murid TK menyatakan ketidaksukaannya terhadap gurunya. Tidak jauh berbeda dengan Nina yang mengidolakan Mbak Via, mereka sama-sama memberi penilaian terhadap orang lain di sekitarnya, terutama orang yang mereka kenal atau yang sering mereka jumpai.

Guru merupakan sosok yang sangat berpengaruh bagi murid dan setiap murid pun pasti memiliki penilaian masing-masing terhadap gurunya. Mengambil kasus Iqbal yang ‘tidak suka diajar’ Bu Nurul menunjukkan bahwa Iqbal menganggap kebiasaan Bu Nurul menelepon di dalam kelas adalah sikap yang kurang baik. Saya tidak sedang menghakimi sosok Bu Nurul. Namun, saya hanya mencoba menegaskan maksud ucapan Iqbal.

Idealnya, seorang guru dapat menjadi panutan bagi muridnya. Tidak harus dalam segala hal karena murid juga mengenal dan berinteraksi dengan orang lain, tidak hanya dengan guru. Ketika seorang siswa menjadikan gurunya sebagai panutan atau acuan dalam bertindak dan bersikap, maka dapat dikatakan bahwa siswa tersebut mengidolakan sang guru.

Guru memang bukan satu-satunya model yang dijadikan panutan bagi siswanya. Guru memang bukanlah sosok orang yang harus dicontoh oleh murid-muridnya. Akan tetapi, guru lah yang secara langsung ataupun tidak langsung memfasilitasi siswanya untuk menemukan jati diri. Terkadang seseorang tidak dapat dengan mudah menemukan jati dirinya. Dia perlu model untuk dicontoh, dijadikan panutan sebelum akhirnya dapat menemukan jati dirinya. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak kecil saja, tetapi remaja (siswa SMP-SMA) bahkan mahasiswa pun masih mengalami hal ini.

Karenanya, seorang guru sudah sepantasnya hanya menunjukkan sikap-sikap yang positif saja. Seorang guru hanya perlu mencontohkan hal-hal yang baik saja. Kasus Iqbal semoga bisa menjadi pengingat untuk setiap guru agar berusaha untuk menjadi pribadi yang baik. Setidaknya ‘berpura-pura’ selalu baik di depan muridnya. Agar guru menjadi pantas diidolakan oleh murid-muridnya. Jika guru selalu bersikap dan berpikir positif (baik), maka murid mereka-yang mengidolakan pun akan mengikuti sikap baik mereka. Sikap dan pikiran yang baik itu yang akan menjadi karakter anak bangsa, karakter pendidikan Indonesia.



[Mangunan, 07.11.2012] 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar